Dalamdunia sufi, hakekat diartikan sebagai aspek batin dari syari’at, sehingga dikatakan hakekat adalah aspek yang paling dalam dari setiap amal, inti dan rahasia dari syari’at yang merupakan tujuan perjalanan salik. Hal yang biasa disebut sebagai hal adalah takut (al-khauf), rendah hati (al-tawadlu), patuh (al-Taqwa), ikhlas (al
3 Lewat Jalan Dzikir Kalimat Taqwa Tersebut dalam al-Qur’an: "Dan tetapkanlah (hubungkanlah) jiwamu dengan kalimah Taqwa" Untuk mencapai taqwa, Ibadah sholat, Puasa, Dzikir kalimah Taqwa harus selalu ditingkatkan. (QS: Al Fath : 26) Apabila Taqwa telah tercapai tanda-tandanya diantaranya sebagaimana tersebut di dalam al-Qur’an :
Dalamfalsafahnya, Suhrawardi banyak menggunakan istilah-istilah yang berbeda dengan para filosof lainnya, ia menggunakan istilah-istilah yang berbeda pengetiannya dari biasa dipahami oleh orang banyak. Seperti Timur (Masyriq) dan Barat (Maghrib), istilah ini tidak berhubungan dengan letak geografis, melainkan berlandaskan pada penglihatan horizontal
AbuBakar Aceh mengatakan bahwa hakikat tasawuf adalah mencari jalan untuk memperoleh kecintaan dan kesempurnaan rohani. oleh karenanya ia merupakan sebuah proses. jadi tasawuf pada zatnya pindah dari suatu hal keadaan ke hal keadaan yg lain, pindah dari alam kebendaan bumi ke alam kerohanian langit (Abu Bakar Aceh, Pengantar Sejarah Sufi dan
Vay Tiền Nhanh Chỉ Cần Cmnd. KEKELIRUAN PEMBAGIAN HAKIKAT DAN SYARI’AT ALA TARIKAT SUFIYAHSebagian kalangan tarikat Sufiyah membagi Islam menjadi dua bagian, yaitu syariat dan hakikat. Atau zhahir dan rahimahullah menjelaskan “Banyak kalangan Sufi yang membedakan agama menjadi hakikat dan syariat”[1]Yang dimaksudkan dengan syariat –menurut kaum Sufi- yaitu perkara apa saja yang diwahyukan Allah kepada Rasul-Nya tanpa memerlukan adanya pentakwilan. Mereka menyebutnya dengan nama ilmu zhahir atau ilmu syariah. Menurut kalangan Sufi, golongan yang mengimani nash-nash syariat tanpa menggunakan takwil ini, masuk ke dalam kategori kelompok awam. Yang termasuk dalam klasifikasi ini -menurut kaca mata mereka- yaitu para imam empat, seluruh ulama fiqih fuqaha, dan ulama pengertian al-haqiqah hakikat, yaitu bisikan-bisikan hati dan mimpi-mimpi kaum Sufi, yang mereka yakini sebagai takwil penafsiran ilmu syariat. Ilmu ini dikenal dengan istilah ilmu bathin, dan para pemiliknya pun disebut ahlul-bâthin. Mereka inilah –menurut kalangan Sufi- yang dikategorikan sebagai manusia-manusia khâsh, yang menyandarkan cara pengamalan agama pada penakwilan nash-nash syariat. Bahkan kata mereka, ilmu bathin tersebut lebih tinggi daripada ilmu melabeli para ulama syariah dengan sebutan yang merendahkan. Seperti al-awwaam’ orang-orang awam, ahlu zhahir, al mahjubun kaum yang terhalangi dari ilmu. Bahkan, kata ahlu syubuhat dan hawa nafsu pun mereka lekatkan pada ulama Syarani menukil riwayat dari seorang tokoh Sufi, Nashr bin Ahmad ad Daqqaq, ia berkata “Kesalahan seorang murid ada tiga menikah, menulis hadits dan bergaul dengan ulama syariah“.Lain lagi dengan Syaikh Hamd an Nahlan at Turabi. Sebelumnya ia menyibukkan diri dengan mengajar ilmu fiqh. Akan tetapi, pasca mengenal tarikat, menghabiskan waktunya selama 32 bulan untuk berkholwat. Murid-muridnya pun memintanya untuk kembali mengajar. Akan tetapi ia menjawab “Saya dan al Khalil nama seorang ulama fiqih besar telah berpisah sampai hari Kiamat”[2]Hakikat “Ilmu Hakikat” Sufiyah Menurut seorang tokoh Sufi yang bernama Ibnu Ajîbah[3], bahwa orang yang membagi agama menjadi hakikat dan syariat ialah Nabi. Menurut Ibnu Ajîbah, Allah mengajarkannya kepada beliau Shallallahu alaihi wa sallam melalui wahyu dan ilham. Malaikat Jibril datang pertama kali membawa “syariat”. Dan tatkala “syariat” sudah mengakar, maka Malaikat Jabril turun untuk kedua kalinya dengan membawa “haqiqat”. Tetapi hanya sebagian orang yang memperolehnya. Dan orang yang pertama kali memunculkannya ialah Sayyiduna Ali.[4]Anggapan dan keyakinan seperti ini, tentu merupakan pemikiran bid’ah model baru. Karena sejak awal, kaum Muslimin tidak pernah mengenal pembagian ini. Kaum Muslimin tidak pernah memikirkannya, apalagi sampai mengakuinya. Benih pembagian agama menjadi “hakikat” dan “syariat” ini sebenarnya tumbuh dari sekte Syi`ah yang mengatakan bahwa setiap segala sesuatu memiliki sisi zhahir dan batin. Sehingga –menurut kaum Sufi- demikian pula dengan Al-Qur`an, ia mempunyai sisi zhahir dan batin. Setiap ayat dan kata-katanya memuat pengertian zhahir dan batin. Sisi batin itu tidak terdeteksi kecuali oleh kalangan hamba Allah yang khusus kaum khawâsh, yang –konon- Allah mengistimewakannya dengan karunia ini, bukan kepada orang selain mereka.[5]Oleh karena itu, kalangan Sufi yang memegangi bid’ah ini, mereka telah mengikuti jalan ta`wil, sehingga “terpaksa” banyak menggunakan bahasa-bahasa dan istilah yang biasa dipakai orang-orang Syi` Adanya “Hakikat” dan “Syari’at” Keyakinan yang telah mengakar pada sebagian penganut Sufi ini, memunculkan banyak konsekuensi buruk. Mulai dari berdusta terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala, berdusta atas nama Rasulullah Shallallahu alaihi wa salam dan juga kebohongan terhadap para sahabat, terutama sahabat Abu Bakr, Umar, dan Utsman Radhiyallahu anhum. Beberapa konsekuensi ini mungkin saja tidak mereka sadari, atau bahkan mereka tolak, akan tetapi, demikianlah tentang kedustaan terhadap Allah Ta’ala,. Yaitu, mereka melakukan pembagian agama menjadi “hakikat” dan “syariat” itu turun dari Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada Rasul-Nya dengan perantaraan Malaikat Jibril Alaihissalam. Sedangkan kedustaan terhadap Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, bahwa adanya pembagian ini telah menyiratkan tuduhan terhadap Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, jika beliau Shallallahu alaihi wa sallam telah melakukan kitmânul-ilmi menyembunyikan sebagian ilmu dan tidak menjalankan amanah tabligh secara penuh. Padahal, terdapat ancaman Allah Subhanahu wa Ta’ala atas orang-orang yang menyembunyikan Subhanahu wa Ta’ala berfirmanاِنَّ الَّذِيْنَ يَكْتُمُوْنَ مَآ اَنْزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنٰتِ وَالْهُدٰى مِنْۢ بَعْدِ مَا بَيَّنّٰهُ لِلنَّاسِ فِى الْكِتٰبِۙ اُولٰۤىِٕكَ يَلْعَنُهُمُ اللّٰهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللّٰعِنُوْنَۙ“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan yang jelas dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al-Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati pula oleh semua makhluk yang dapat melaknati”. [al- Baqarah/2159].Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda مَنْ سُئِلَ عَنْ عِلْمٍ فَكَتَمَهُ أَلْجَمَهُ اللَّهُ بِلِجَامٍ مِنْ نَارٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ“Barang siapa yang ditanya ilmu, kemudian ia menyembunyikannya, niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membelenggu mulutnya dengan tali kekang dari neraka pada hari Kiamat kelak” [HR Abu Dawud].Sehingga tidak mungkin Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam menyembunyikan sebagian ilmu. Anggapan itu, nyata merupakan pendapat yang mengada-ada. Ilmu apakah yang beliau sembunyikan? Padahal saat haji Wada`, beliau n telah mempersaksikan tentang tugasnya yang sudah disampaikannya secara utuh. Allah Subhanahu wa Ta’ala pun telah menegaskan kesempurnaan Islam dalam Al-Qur` lontaran kebohongan terhadap para sahabat, yaitu anggapan bahwa para sahabat Radhiyallahu anhum adalah orang-orang sesat, bodoh, dan tidak mengenal ilmu hakikat yang dapat mendekatkan manusia kepada mahabatullah. Lontaran ini tentu merupakan kedustaan. Sebab mengandung hujatan yang meminggirkan peran para sahabat Radhiyallahu anhum, dan hanya menempatkan Sahabat Ali sajalah yang telah berperan dalam masalah ini, meskipun hakikatnya mereka pun berdusta atas nama Sahabat Ali Radhiyallahu khusus, kedustaan ini memuat dua semakin menguatkan adanya benang merah antara Sufi dan Syi’ ini merupakan petunjuk adanya hasad terpendam terhadap agama Islam. Karena pembagian agama dalam dua kutub “syariat” dan “hakikat”, di dalamnya mengandung usaha untuk menjauhkan umat Islam dari generasi terbaiknya, yaitu para sahabat Radhiyallahu anhum yang Allah memberikan taufik kepada kaum Muslimin untuk memahami agama Islam dengan cara yang Hiyash Shûfiyah, Syaikh Abdur-Rahmân Juyûsyil-Islâmiyyah lil-Imam Ibnil-Qayyim ma’a Mauqifihi min Ba’dhil-Firaq, Dr. Awwâd bin Abdullah al-Mu’tiq, Maktabah Rusyd, Cetakan III, Tahun 1419 H – 1999 M.[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun X/1427H/2006M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079] _______ Footnote [1] Naqdul-Ilmi wal-Ulama, hlm. 246-247. [2] Târîkh Baghdâd 2/331 [3] Ahmad bin Muhammad bin al Mahdi bin Ajîbah, dia adalah seorang tokoh Sufi, meninggal pada tahun 122H. Dia menulis sebuah kitab berjudul Iqâzhul-Himami fi Syarhil-Hikam [4] Iqâzhul-Himami fi Syarhil-Hikam 1/5. Dikutip dari halaman 149 Ijtimâ’ Juyûsyil-Islâmiyyah lil- Imam Ibnil-Qayyim ma’a Mauqifihi min Ba’dhil-Firaq, Dr. Awwâd bin Abdullah al-Mu’tiq [5] Mengenai aliran Bathiniyah, lihat kupasannya di Majalah As-Sunnah, Edisi 01/Tahun X/1427 H/2006 M, hlm. 54-57 Home /A9. Fiqih Dakwah Firqah.../Kekeliruan Pembagian Hakikat dan...
Syukur merupakan kata yang lazim diucapkan dalam keseharian masyarakat. Syukur menjadi pembahasan dalam bab tersendiri dalam kajian tasawuf. Syukur dibahas dengan beragam pandangan orang-orang sufi dalam ar-Risalatul Qusyairiyyah. Pembahasan syukur dalam ar-Risalatul Qusyairiyyah diawali dengan kutipan Surat Ibrahim ayat 7 لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ Artinya, “Sungguh, jika kalian bersyukur, niscaya Kutambahkan nikmat kalian,” Surat Ibrahim ayat 7. Terkait syukur, al-Qusyairi mengutip sebuah hadits yang menceritakan Atha dan Ubaid bin Umair. Suatu hari keduanya menemui sahabat Aisyah ra. “Kabarkan kepada kami apa yang paling mengherankanmu dari perbuatan Rasulullah saw!” kata Atha. Siti Aisyah ra menangis. Ia kemudian bercerita bahwa suatu malam Rasulullah saw mendatanginya dan berbaring di kasurnya atau di dalam selimutnya sehingga kulit keduanya saling bersentuhan. “Wahai putri Abu Bakar, biarkan aku beribadah kepada Allah malam ini,” katanya. “Aku senang dekat dengamu Rasulullah,” jawab Aisyah ra. Rasulullah saw kemudian mendekati kirbat berisi air dan berwudhu. Pada kesempatan ini Rasulullah menuang banyak air untuk wudhunya. Aisyah pun merelakan suaminya beribadah menghidupkan malam. Rasulullah saw mulai melakukan shalat. Ia menangis. Air matanya mengalir sehingga membasahi dadanya. Ia turun untuk rukuk. Pada rukuk ini ia juga menangis. Kemudian itidal dan sujud. Ia juga bersujud dalam keadaan menangis. Bangun dari sujud ia juga menangis. Rasulullah saw terus melakukan shalat dengan menangis sepanjang malam sampai Bilal ra datang untuk mengabarkannya azan subuh. “Wahai Rasulullah, apa yang membuatmu menangis? Padahal Allah telah mengampuni dosamu yang dahulu dan kemudian,” tanya Aisyah ra. “Apakah aku tidak boleh menjadi hamba yang bersyukur dan mengapa aku tidak melakukannya?” jawab Rasulullah. * Kamus Besar Bahasa Indonesia KBBI menyebut pengertian syukur sebagai rasa terima kasih kepada Allah swt. Adapun berikut ini adalah hakikat syukur yang disebutkan oleh al-Qusyairi. حقيقة الشكر عند أهل التحقيق الاعتراف بنعمة المنعم على وجه الخضوع Artinya, “Hakikat syukur menurut ahli hakikat adalah pengakuan atas nikmat Allah, Zat pemberi nikmat, dengan jalan ketundukan,” Lihat Abul Qasim Al-Qusyairi, ar-Risalatul Qusyairiyyah, [Kairo, Darus Salam 2010 M/1431 H], halaman 97. Hakikat syukur dapat juga berarti pujian terhadap orang yang berbuat baik dengan menyebut kebaikannya. Dengan demikian, syukur seorang hamba kepada Allah adalah pujian kepada Allah dengan menyebut kebaikan-Nya. Sedangkan syukur Allah kepadanya berupa pujian Allah dengan menyebut kebaikan hamba-Nya. Adapun kebaikan seorang hamba adalah ketaatannya kepada Allah. Sedangkan kebaikan Allah adalah pemberian nikmat Allah kepadanya berupa taufik dan hidayah agar ia mau bersyukur. Syukur atas nikmat Allah diucapkan dengan mulut dan disadari dengan hati. Sedangkan sebagian ulama membagi syukur dengan tiga ekspresi, pengakuan dengan lisan atas nikmat Allah, kepatuhan oleh anggota badan atas ibadah yang diperintahkan, dan syukur hati dengan musyahadah. Al-Qusyairi, 2010 M/1431 H 97-98. Abu Ustman mengatakan, syukur adalah menyadari keterbatasan kita untuk bersyukur. Ulama lainnya menambahkan, syukur karena bisa bersyukur merupakan nikmat yang lebih sempurna dari sekadar mensyukuri nikmat karena kita meyadari bahwa tanpa taufik-Nya kita takkan dapat bersyukur. Al-Junaid ketika berusia 7 tahun mengatakan saat ditanya pamannya di hadapan para jamaah "Syukur itu adalah kau tidak bermaksiat kepada Allah dengan nikmat-Nya." Abu Ustman mengatakan, syukur orang awam terkait dengan nikmat makanan, pakaian, dan material lainnya, sedangkan syukur orang khawash terkait pengertian dan pemahaman yang masuk ke dalam batin mereka. Nabi Dawud as mengatakan, “Tuhanku, bagaimana aku dapat bersyukur kepada-Mu? Syukurku atas nikmat-Mu merupakan nikmat batin tersendiri dari sisi-Mu.” Suatu hari seseorang menemui Sahal bin Abdullah at-Tustari. Ia mengadu musibah kehilangan bahwa seorang pencuri masuk ke dalam rumahnya dan mengambil barang berharganya. “Bersyukurlah kepada Allah. Bagaimana kalau pencuri yaitu setan masuk ke dalam hatimu dan merusak keyakinanmu?” kata At-Tustari. Wallahu a’lam. Ustadz Alhafiz Kurniawan
Sufism is self-cleansing and the human soul for the means to draw closer to God Almighty. The development of Sufism today can not be separated from the tendency of spiritualism. we cannot ignore that there are two very important technical terms namely maqamat and ahwal in Sufism. To reach the position of maqamat and ahwal the stages must be passed by a Sufi. Achievement at the highest station can be realized in the form of behavior changes or commendable morals. That character will deliver a Sufi to the level of mahabbah and ma'rifah. The research method used in this research is the study of literature Library Research. For the results of this study that Sufism is a pattern of Sufism Sufism whose teachings go back to the Qur'an and Sunnah. Maqam and hal are a way to achieve the ideal of the Sufis. Through the process of purification of the soul against the tendency of matter to return to the light of God. When God manifests himself in the soul and clean heart of man in both His majesty and beauty, a person will love the manifestation and feel certain joys, heart feels close qurb, love mahabbah, raja’ , serenity and sense mental conditions are called ahwal. Keywords Sufism, Maqamat and Ahwal, Mahabbah and Ma’rifah Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free 214 Fitriyatul Hanifiyah Doi At-Turāṡ Jurnal Studi Keislaman E-ISSN 2460-1063, P-ISSN 2355-567X Volume 6, No. 2, Juli-Desember 2019 Fitriyatul Hanifiyah KONSEP TASAWUF SUNNI Mengurai Tasawuf Akhlaqi, Al-Maqamat dan Ahwal, Al-Ma’rifah dan Mahabbah Perspektif Tokoh Sufi Sunni Universitas Islam Jember, Jember Email Abstract Sufism is self-cleansing and the human soul for the means to draw closer to God Almighty. The development of Sufism today can not be separated from the tendency of spiritualism. we cannot ignore that there are two very important technical terms namely maqamat and ahwal in Sufism. To reach the position of maqamat and ahwal the stages must be passed by a Sufi. Achievement at the highest station can be realized in the form of behavior changes or commendable morals. That character will deliver a Sufi to the level of mahabbah and ma'rifah. The research method used in this research is the study of literature Library Research. For the results of this study that Sufism is a pattern of Sufism Sufism whose teachings go back to the Qur'an and Sunnah. Maqam and hal are a way to achieve the ideal of the Sufis. Through the process of purification of the soul against the tendency of matter to return to the light of God. When God manifests himself in the soul and clean heart of man in both His majesty and beauty, a person will love the manifestation and feel certain joys, heart feels close qurb, love mahabbah, raja’ , serenity and sense mental conditions are called ahwal. Keywords Sufism, Maqamat and Ahwal, Mahabbah and Ma’rifah Received in revised form 2019-12-17 Citation Hanifiyah, F. 2019, Konsep Tasawuf Sunni Mengurai Tasawuf Akhlaqi, Al-Maqamat dan Ahwal, Al-Ma’rifah dan Mahabbah Perspektif Tokoh Sufi Sunni, 62, 214-231. Konsep Tasawuf Sunni 215 At-Turāṡ Jurnal Studi Keislaman E-ISSN 2460-1063, P-ISSN 2355-567X Volume 6, No. 2, Juli-Desember 2019 Abstrak Tasawuf merupakan salah satu bentuk pembersihan diri dan jiwa manusia untuk sarana mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Perkembangan pemikiran tasawuf dewasa ini tidak bisa dilepaskan dari kecenderungan pembicaraan tentang ajaran tasawuf sebagai perjalanan spiritual, kita tidak dapat megabaikan bahwa terdapat dua istilah teknis yang sangat penting yaitu maqamat dan ahwal. Untuk mencapai posisi maqamat dan ahwal tersebut tahapan-tahapan harus dilalui oleh seorang sufi. Pencapaian pada maqam tertinggi bisa diwujudkan dalam bentuk perubahan perilaku atau akhlak yang terpuji. Akhlak tersebut yang akan mengantarkan seorang sufi kepada jenjang mahabbah dan ma’rifah. . Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan kajian literature Library Research. Untuk hasil penelitian ini bahwa tasawuf akhlaqi merupakan pola tasawuf yang ajaran-ajarannya kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Maqam dan hal merupakan cara untuk mencapai tujuan ideal para sufi. Melalui proses purifikasi jiwa terhadap kecenderungan materi agar kembali pada cahaya Tuhan. Ketika Tuhan memanifestasikan diri dalam jiwa dan hati bersih manusia baik dalam bentuk keagungan maupun keindahan-Nya, seseorang akan mencintai manifestasinya tersebut dan merasakan kegembiraan-kegembiraan tertentu, hati merasa dekat qurb, rasa cinta mahabbah, raja’, tentram dan rasa yakin. Kondisi-kondisi kejiwaan tersebut yang dinamakan ahwal. Kata Kunci Tasawuf, Maqamat dan Ahwal, Mahabbah dan Ma’rifah PENDAHULUAN Tasawuf merupakan salah satu bidang studi Islam yang memusatkan perhatian pada pembersihan aspek rohani manusia yang dapat menimbulkan akhlak mulia. Pembersihan aspek rohani ini dikenal sebagai dimensi esoteric dari diri manusia. Hal ini berbeda dengan aspek fikih, khususnya pada thaharah yang memusatkan perhatian pada pembersihan aspek jasmaniah atau lahiriah yang disebut dengan dimensi eksoterik. Berkembangnya pemikiran tasawuf akhir-akhir ini tidak bisa dilepaskan dari kecenderungan spiritualisme yang merupakan salah satu dari sekian banyak trend besar di era global. Inti ketertarikan manusia modern terhadap dunia spiritual, pada dasarnya digunakan untuk mencari keseimbangan baru dalam hidupnya. Paradigma modern tidak mampu mengungkap kesemestaan kehidupan karena sejak awal telah menolak atau mendekonstruksi realitas yang berada di luar jangkauan indera dan rasio. 216 Fitriyatul Hanifiyah Doi At-Turāṡ Jurnal Studi Keislaman E-ISSN 2460-1063, P-ISSN 2355-567X Volume 6, No. 2, Juli-Desember 2019 Berkenaan dengan itu, agama tampak dijadikan sebagai alternatif paradigma, paling tidak dalam diskursus post modernisme belakangan ini. Agama dipandang sebagai bagian yang sangat penting dan fungsional bagi sejarah perjalanan hidup manusia di masa depan. Akan tetapi, di balik optimisme tentang masa depan agama, terdapat pertanyaan tentang model keberagamaan yang bagaimana yang dapat menyangga kebutuhan spiritualitas tersebut. Dalam konteks pertanyaan seperti ini, tasawuf diharapkan menjadi salah satu alternative untuk mengisi kehampaan spiritual manusia. Dalam pembicaraan tentang ajaran tasawuf sebagai perjalanan spiritual, kita tidak dapat megabaikan bahwa terdapat dua istilah teknis yang sangat penting yaitumaqamat dan ahwal. Untuk mencapai puncak maqamat yang tertinggi, seorang sufi harus menjalani setahap demi setahap. Seorang sufi yang telah mencapai puncak maqam tertinggi tampak termanifestasikan dalam perubahan sikap atau perilaku kepada akhlak yang lebih baik. Akhlak terpuji sebagai bentuk representative dari seorang sufi yang telah mampu menuju jenjang mahabbah atau ma’rifah. Hal ini yang menjadi karakteristik-karakteristik seorang sufi. Untuk mengetahui lebih komprehensif tentang maqamat, ahwal, mahabbah dan makrifah, maka penulis melakukan penelitian kajian literature Library Research mengenai ajaran tasawuf sunni. PEMBAHASAN TOKOH SUFI SUNNI DAN AJARANNYA TASAWUF AKHLAQI Dalam kajian tasawuf abad ke-3 dan 4 Hijriah terdapat kecenderungan para tokoh sufi. Pertama, yang cenderung bersifat gerakan akhlak yang didasarkan pada Al-Qur’an dan As-Sunnah, yang kemudian Konsep Tasawuf Sunni 217 At-Turāṡ Jurnal Studi Keislaman E-ISSN 2460-1063, P-ISSN 2355-567X Volume 6, No. 2, Juli-Desember 2019 ajaran ini disebut sebagai Tasawuf Sunni. Kedua, cenderung bersifat tasawuf filsafat dan banyak berbaur dengan kajian filsafat metafisika. Tasawuf Akhlaqi adalah ajaran tasawuf yang membahas tentang kesempurnaan dan kesucian jiwa yang diformulasikan pada pengetahuan sikap, mental dan pendisiplinan tingkah laku, guna mencapai kebahagiaan yang optimal. Manusia harus lebih dahulu mengidentifikasikan eksistensi dirinya dengan ciri-ciri ketuhanan melalui penyucian jiwa raga yang bermula dari pembentukan pribadi yang berakhlak mulia yang dalam ilmu tasawuf dengan takhalli pengosongan diri dari sifat-sifat tercela, tahalli menghiasi diri dari sifat-sifat terpuji, dan tajalli terungkapnya nur bagi yang telah bersih sehingga mampu menangkap cahaya ketuhanan. Dapat dikatakan bahwa tasawuf akhlaqi ini merupakan pola tasawuf yang ajaran-ajarannya kembali kepada Al-Qur’an dan samping itu, aliran sufi sunni ini cenderung menyorot tasawuf dari sudut moral dan amal syariat yang didiasarkan pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Termasuk tokoh-tokoh kelompok pertama di antaranya adalah Haris al-Muhasibi. Ia banyak mengkaji dan mengajarkan disiplin diri muhasabah. Al-Muhasibi juga menulis Kitab Al-Wasaya yang menyajikan ulasan tentang zuhud. Sedangkan bukunya At-Tawahhum membahas kedahsyatan maut dan hari pembalasan. Adapun pandangannya tentang kemurnian cinta ketuhanan ditulisnya dalam Fasl fi Al-Mahabbah Penjelasan tentang Konsep Cinta. Selain tokoh tersebut, juga dikenal Sirri As-Saqati, Abu Ali Ar-Ruzbari, dan Abu Zaid Al-Adami. Di samping itu, terdapat pula Abu Said Al-Kharraz, Sahl At-Tustari dan Al-Junaid Al-Bagdadi w. 289 H yang paling populer dan mempunyai analisis mendalam mengenai tauhid dan fana dari kalangan tokoh sufi 218 Fitriyatul Hanifiyah Doi At-Turāṡ Jurnal Studi Keislaman E-ISSN 2460-1063, P-ISSN 2355-567X Volume 6, No. 2, Juli-Desember 2019 sunni. Menurut pemikirannya, memperdalam pengenalan kepada Allah SWT harus bersamaan dengan peningkatan amal dan disiplin diri. Sedangkan untuk tokoh tasawuf filasafat antara lain adalah Zunun Al-Misri. Ia tokoh sufi yang ahli ilmu kimia dan sering disebut sebagai tokoh legendaries. Menurutnya, pengetahuan tentang Tuhan mempunyai tiga tingkatan, yaitu 1 pengetahuan awam, yang diperoleh dengan perantaraan ucapan syahadat, 2 pengetahuan ulama, yang diperoleh dengan menggunakan akal dan logika dan 3 pengetahuan sufi, yang diperoleh dengan hati sanubari. Tingkat terakhir ini juga disebut sebagai ma’rifat, yakni kemampuan hati untuk melihat Tuhan. Tokoh lain yang juga paling berani dari kelompok tasawuf filsafat ini adalah Abu Yazid Al-Bustami w. 260 H, yang secara terus terang mengungkapkan dalam as-sakr mabuk ketuhanan, fana dan baka peleburan diri untuk mencapai keabadian dalam diri Ilahi dan ittihad bersatu dengan Tuhan. Di samping juga, Husain bin Mansur Al-Hallaj yang dianggap paling kontroversial di dalam sejarah tasawuf. Pandangan tasawuf yang dikembangkan Al-hallaj adalah hulul. Setelah Al-hallaj meninggal, tasawuf filsafat makin terdesak oleh tasawuf sunni. Terutama hal itu didukung oleh keunggulan aliran Asy’ariyah dalam teologi yang memiliki kesamaan dengan tasawuf sunni. Di antara tokoh tasawuf yang muncul pada abad ke-5 H adalah Abu Qasim Abdul Karim Al-Qusyairi yang mengangkat kerangka teoritis tasawuf, walaupun kajiannya bersifat umum dan ringkas. Tokoh lain yang muncul kemudian ialah Abu Ismail Abdullah bin Muhaimad Al-Ansari Al-Harawi yang menulis Manazil As-Sa’inn Ila Rabb Al-Alamin Kedudukan Orang-orang yang Mendekatkan Diri pada Allah SWT. dalam karyanya yang ringkas, ia menguraikan maqamat para sufi yang Abu Su’ud, Islamologi Jakarta PT Rineka Cipta, 2003. Hal. 190. Konsep Tasawuf Sunni 219 At-Turāṡ Jurnal Studi Keislaman E-ISSN 2460-1063, P-ISSN 2355-567X Volume 6, No. 2, Juli-Desember 2019 mempunyai awal dan akhir. Maqam terakhir tidak akan bisa berdiri utuh kecuali di atas landasan awalnya, yaitu ikhlas dan dilaksanakan atas sunnah. Sebagai penganut Hambali, Al-Harawi terkenal sebagai penentang tasawuf filsafat yang dibawa oleh Al-Bustami dan Al-Hallaj. Puncak kecemerlangan tasawuf pada abad ke-5 adalah pada masa Al-Ghazali yang diberi gelar Hujatul Islam. Dengan hasil karyanya yang popular yaitu Ihya’ Ulum Ad-Din, dia mencoba untuk mendamaikan teologi, fikih dan tasawuf. Ia juga membahas secara mendalam perihal ibadah, adat istiadat masyarakat, dosa-dosa yang membinasakan dan jalan menuju keselamatan berupa maqamat dan ahwal. Tidak dipertentangkan lagi bahwa buku Ihya’ Ulum Ad-Din adalah menjadi sumber tasawuf sunni. Adapun ma’rifah adalah tujuan luhur bagi tasawuf. Sedangkan kesatuan antara manusia dengan Tuhan merupakan suatu putusan yang secara logis tertolak di samping tidak bisa diterima secara MENUJU SUFI MAQAMAT DAN KARAKTERISTIK SUFI AL-AHWAL Maqamat dan Ahwal adalah dua istilah penting dalam dunia tasawuf. Keduanya merupakan sarana dan pengalaman spiritual seseorang dalam berkomunikasi dengan Tuhan, Dzat tempat berasal dan kembali segala sesuatu yang ada di jagad raya jamak dari maqam, yang berarti tahap-tahap perjalanan atau secara lebih populer diterjemahkan dengan “stasiun”, seperti halnya stasiun kereta apai yang harus dilalui sepanjang perjalanan, dari titik “start” sampai kepada “finish” sebagai akhir tujuan perjalanan. Adapun “ahwal” bentuk jamak dari hal, Ibrahim Madkour, Filsafat Islam Metode dan Penerapan Jakarta CV. Rajawali, 1988. Hal. 74. 220 Fitriyatul Hanifiyah Doi At-Turāṡ Jurnal Studi Keislaman E-ISSN 2460-1063, P-ISSN 2355-567X Volume 6, No. 2, Juli-Desember 2019 biasanya diartikan sebagai keadaan mental mental states yang dialami oleh para sufi di sela-sela perjalanan spiritualnya. Dengan begitu, maqam dan hal merupakan cara untuk mencapai tujuan ideal para sufi. Melalui proses purifikasi jiwa terhadap kecenderungan materi agar kembali pada cahaya Tuhan. Pada sisi lain, ahwal merupakan keadaan yang diberikan oleh Tuhan di tengah seseorang melakukan perjalanan kerohanian melalui maqam tertentu. Ketika Tuhan memanifestasikan diri dalam jiwa dan hati bersih manusia baik dalam bentuk keagungan maupun keindahan-Nya, seseorang akan mencintai manifestasinya tersebut dan merasakan kegembiraan-kegembiraan tertentu, hati merasa dekat qurb, rasa cinta mahabbah, raja’, tentram dan rasa yakin. Kondisi-kondisi kejiwaan tersebut yang dinamakan ahwal. Sekalipun sama-sama dialami dan dicapai selama masa perjalanan spiritual seorang sufi menuju Tuhannya, namun menurut para sufi terdapat perbedaan yang mendasar antara maqamat dan ahwal, baik dari cara mendapatkannya maupun pelangsungannya. Maqamat adalah tahap-tahap perjalanan spiritual yang dengan gigih diusahakan oleh para sufi untuk memperolehnya. Perjuangan ini pada hakikatnya merupakan perjuangan spiritual yang panjang dan melelahkan untuk melawan hawa nafsu, termasuk ego manusia yang dipandang berhala terbesar dan karenanya hal itu yang menjadi kendala menuju Tuhan. Kerasnya perjuangan spiritual ini misalnya dapat dilihat dari kenyataan bahwa seorang sufi terkadang memerlukan waktu puluhan tahun hanya untuk bergeser dari satu stasiun ke stasiun ahwal sering diperoleh secara spontan sebagai hadiah dari Tuhan. Dintara ahwal yang sering disebut adalah takut, syukur, rendah hati, ikhlas dan gembira. Meskipun ada perbedaan di antara penulis tasawuf, namun mayoritas mereka mengatakan bahwa ahwal dialami secara spontan dan Konsep Tasawuf Sunni 221 At-Turāṡ Jurnal Studi Keislaman E-ISSN 2460-1063, P-ISSN 2355-567X Volume 6, No. 2, Juli-Desember 2019 berlangsung sebentar dan diperoleh tidak didasarkan usaha sadar atau perjuangan keras, seperti halnya pada maqamat, melainkan sebagai hadiah berupa kilatan-kilatan Ilahi Divine Flashes.Selain itu, maqam juga mempunyai arti dasar yaitu “tempat berdiri” dalam terminologi sufistik berarti tempat atau martabat seorang hamba di hadapan Allah pada saat ia berdiri menghadap kepada-Nya. Ia merupakan proses training melatih diri dalam hidup kerohanian riyadlah, memerangi hawa nafsu mujahadah dan melepaskan kegiatan dunia untuk semata-mata berbakti kepada Allah. Hal ini senada dengan pendapat Al-Qusyairi yang mengatakan bahwa maqam merupakan apa yang terjadi pada hamba Allah berkat ketinggian adab, sopan santunnya yang dihasilkan dengan kerja keras. Di antara para penulis sufi yang berbicara tentang kondisi serta maqam, terdapat nama-nama yang tidak bisa dilupakan begitu saja, yakni Zu an-Nun Al-Misri w. 861, yang telah menulis daftar berisi delapan belas atau sembilan belas tingkatan. Sementara pada saat itu, Yahya Ibn Mu’az dari Iran 872 mengemukakan tujuh atau empat pengalaman para sufi dalam pengalaman spiritualnya menuju Tuhan, pada gilirannya akan mempengaruhi jumlah maqamat dan susunannya, bahkan juga cara menyampaikan pengalaman spiritual dalam karya-karya mereka. Pengalaman subjektif terhadap dunia spiritual yang objektif ini yang kiranya telah menyebabkan deskripsi, nama dan urutan-urutan maqamat dari seorang sufi berbeda dari yang lainnya. Ada yang memulainya dengan maqam taubat dan mengakhirinya dengan ma’rifat, Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf Jakarta Erlangga, 2002. Hal. 180. Simuh, Abdul Muhayya, Amin Syukur, dkk, Tasawuf dan Krisis Yogyakarta Pustaka Pelajar, 2001. Hal. 131. Carl W. Ernst, Ajaran dan Amaliah Tasawuf, diterj. dari Judul Asli The Shambhala Guide to Sufism Jogjakarta Pustaka Sufi, 2003. Hal. 129. 222 Fitriyatul Hanifiyah Doi At-Turāṡ Jurnal Studi Keislaman E-ISSN 2460-1063, P-ISSN 2355-567X Volume 6, No. 2, Juli-Desember 2019 seperti Al-Kalabadzi, ada juga yang memulainya dengan taubat dan mengakhirinya dengan ridha seperti Al-Ghazali. Demikian juga maqamat yang dilalui, ada yang menyebutnya 6 maqamat, 7 atau bahkan 10 maqamat. Demikian juga ada yang mengatakan bahwa ridha, misalnya sebagai “maqam” Al-Kalabadzi, Al-Ghazali dan Qusyairi, ada juga yang menganggap sebagai “ahwal”, seperti yang diyakini misalnya oleh Abu Utsman Al-Hiri. Selain perbedaan tersebut para sufi juga dalam hal pelangsungan dalam “ahwal”. Ada yang mengatakan bahwa beberapa ahwal adalah seperti kilatan. Kalau itu dikatakan menetap, maka menurut seorang guru Al-Qusyari, itu sekedar omongan nafsu. Tetapi di pihak lain, Abu Utsman Al-Hiri justru mengatakan jika hal tidak abadi dan tidak terdelegasikan, maka itu hanyalah kilatan dan pelakunya tidak sampai pada hal yang sebenarnya. Hanya apabila sifat tersebut menetap, maka itulah yang dinamakan hal. Munculnya perbedaan persepsi ini baik mengenai maqamat maupun ahwal adalah akibat pengalaman subjektif masing-masing sufi dalam perjalanan spiritualnya. Di antara beberapa pendapat tentang maqamat adalah sebagai berikut 1. Al-Kalabadzi Terdapat setidaknya 10 maqamat yang dapat ditemukan di dalam kitabnya, yaitu tobat al-taubah, zuhud al-zuhd, sabar al-shabr, kefakiran al-faqr, rendah hati al-tawadhu, tawakkal al-tawakkul, kerelaan al-ridha, cinta al-mahabbah, dan ma’rifat al-ma’rifah. Pertama, tobat al-taubah. Tobat bagi al-Kalabadzi adalah bahwa seseorang telah melupakan dosanya, dalam arti ia telah melupakan segala manisnya dosa sama sekali dalam hatinya. Karena itu, orang Mulyadhi Kartanegara, hal. 182. Konsep Tasawuf Sunni 223 At-Turāṡ Jurnal Studi Keislaman E-ISSN 2460-1063, P-ISSN 2355-567X Volume 6, No. 2, Juli-Desember 2019 yang telah bertobat atau tobatnya diterima, tidak tertarik lagi pada dosa yang pernah ia lakukan. Kedua, zuhud al-zuhd. Dari beberapa definisi zuhud yang dikutip Al-Kalabadzi, dapat disimpulkan bahwa zuhud adalah cara hidup yang bersahaja. Adapun keutamaan seorang zahid adalah bahwa tidak ada yang bisa memilikinya kecuali Tuhan. Ketiga, sabar al-sabr. Salah satu arti sabar yang dikutp Al-Kalabadzi adalah “pengharapan akan kesenangan atau kegembiraan dari Allah dan ini merupakan pengabdian yang paling mulia. Keempat, kefakiran al-faqr. Kefakiran diartikan sebagai seseorang tidak patut mencari yang tiada. Kefakiran yang lebih tinggi ialah bahwa ia merupakan ketiadaan dari setiap benda yang ada dan meninggalakan segala sesuatu yang bisa hilang. Kelima, rendah hati al-tawadhu’. Salah satu pengertian rendah hati yang dikutip Al-Kalabadzi adalah “kehinaan atau kerendahhatian kepada Dia yang mengetahui yang gaib”. Keenam, takwa al-taqwa. Menurut Kalabadzi menghindari apa yang dilarang dan memutus hubungan dengannya dari jiwa. Ketujuh, tawakkal al-tawakkal. Menurut Al-Kalabadzi tawakkal adalah meninggalkan segala daya dan upaya dengan mengatakan “la haula wa la quwwata illa billah”. Kedelapan, ridha al-ridha. Ridha adalah diamnya hati dalam guratan nasib. Kesembilan, cinta al-mahabbah. Al-Junayd berkata, “cinta adalah kecondongan hati yakni kecondongan hati kepada Allah dan segala sesuatu yang menyangkut Allah tanpa upaya apapun”. Terakhir, ma’rifat al-ma’rifah. Menurut salah seorang sufi ma’rifat ada dua macam. Pertama, ma’rifat kebenaran, yaitu menyatakan keesaaan Tuhan atas sifat-sifat-Nya, sedangkan ma’rifat kedua adalah ma’rifat di mana tidak ada cara apapun untuk mencapai ma’rifat tersebut, karena 224 Fitriyatul Hanifiyah Doi At-Turāṡ Jurnal Studi Keislaman E-ISSN 2460-1063, P-ISSN 2355-567X Volume 6, No. 2, Juli-Desember 2019 sifat Tuhan tidak bisa ditembus dan verifikasi ketuhanannya tidak mungkin bisa Al-Qusyairi Menurut Qusyairi dalam kitabnya Al-Risalat Al-Qusyairiyyah, maqamat terdiri dari tobat, wara’, zuhud, tawakal, sabar dan tobat. Menurut Qusyairi tobat adalah kembali, yaitu kembali dari sesuatu yang dicela oleh syara’ menuju sesuatu yang diridhai oleh-Nya. Syarat yang harus dipenuhi agar tobatnya diterima ialah menyesali pelanggaran yang telah dilakukan dan berkomitmen utnuk tidak kembali kepada kemaksiatan. Kedua, wara’. Wara’ menurut Abu Ali Daqqaq adalah “meninggalkan apapun yang syubhat”. Ibrahim ibn Adham mengatakan wara’ yaitu “meninggalkan segala sesuatu yang meragukan, segala sesuatu yang tidak berarti dan apa pun yang berlebihan”. Ketiga, zuhud. Zuhud yang dimaksud di sini adalah zuhud terhadap dunia al-zuhd fi al-dunya. Zuhud adalah meninggalkan hal-hal yang bersifat duniawi untuk kemudian tidak peduli dengan mereka yang mengambilnya. Buah dari zuhud adalah kedermawanan. Adapun indikator orang zuhud adalah adanya sikap tenang ketika berpisah dengan harta yang dimilikinya. Keempat, tawakkal. Menurut Abu Sahl bin Abdillah, tawakkal adalah “menyerahkan diri kepada Allah dalam apapun yang dikehendaki oleh-Nya”. Kelima, sabar. Al-Qusyairi membagi sabar menjadi dua bagian, yaitu sabar terhadap apa yang diupayakan dan sabar terhadap apa yang tidak diupayakan. Sabar yang diupayakan yaitu sabar dalam menjalankan perintah Allah dan sabar dalam menjauhi larangan-Nya. Sedangkan sabar yangtidak diupayakan adalah kesabaran dalam menjalani ketentuan Allah yang menimbulkan kesukaan baginya. Keenam, ridha. Al-Qusyairi Konsep Tasawuf Sunni 225 At-Turāṡ Jurnal Studi Keislaman E-ISSN 2460-1063, P-ISSN 2355-567X Volume 6, No. 2, Juli-Desember 2019 mengatakan bahwa awal ridha adalah sesuatu yang dicapai oleh sang hamba dan merupakan maqam, tetapi pada akhirnya ridha merupakan keadaan rohani hal dan bukan sesuatu yang diperoleh dengan upaya Al-Ghazali Dalam buku Ihya’ Ulum Al-Din, Al-Ghazali menyebut beberapa maqamat antara lain adalah tobat, sabar, kefakiran, zuhud, tawakkal, mahabbah dan ridha. Pertama, tobat. Menurut Al-Ghazali tobat adalah penyesalan. Kedua, sabar. Al-Ghazali berpendapat bahwa ada dua macam sabar yaitu sabar yang berkaitan dengan fisik, seperti ketabahan dan ketegaran memikul beban dengan badan. Sedangkan sabar yang kedua disebut dengan kesabaran yang terpuji dan sempurna, yaitu kesabaran yang berkaitan dengan jiwa dalam menahan diri dari berbagai keinginan tabiat atau tuntutan hawa nafsu. Ketiga, kefakiran. Kefakiran diartikan oelh Al-Ghazali sebagai ketak-tersedianya apa yang dibutuhkan. Maka dalam arti ini, seluruh wujud selain Allah adalah fakir karena mereka membutuhkan bantuan Tuhan untuk kelanjutan wujudnya. Keempat, zuhud. Zuhud didefiniskan sebagai tidak adanya perbedaan antara kemiskinan dan kekayaan, kemuliaan dan kehinaan, pujian atau celaan karena keakrabannya dengan Tuhan. Kelima, tawakkal. Tawakkal artinya menyerahkan urusan kepada seseorang, yang kemudian disebut wakil dan memercayakan kepadanya dalam urursan tersebut. Tentu saja seseorang tidak akan menyerahkan urusan kepada orang lain kecuali ia merasa tenang dengannya, percaya dan mempercayakan kepadanya baik dari sudut ke-tsiqah-annya maupun kecakapannya. Dalam hal ini yang dimaksud adalah tawakkal kepada Allah, Wakil yang sangat dapat 226 Fitriyatul Hanifiyah Doi At-Turāṡ Jurnal Studi Keislaman E-ISSN 2460-1063, P-ISSN 2355-567X Volume 6, No. 2, Juli-Desember 2019 dipercaya, Maha Kuasa dan mempunyai kecakapan yang tiada batasnya. Keenam, cinta Ilahi/mahabbah. Menurut Al-Ghazali orang yang mencintai sesuatu, yang tidak punya keterkaitan dengan Allah, maka orang tersebut melakukannya karena kebodohan dan kurangnya dalam mengenal Allah. Adapun cinta kepada selain Allah tetapi masih terkait dengan Allah, maka hal tersebut masih dipandang baik. Misalnya, cinta kepada Rasulullah adalah terpuji karena cinta ini merupakan buah kecintaan kepada Allah. Cinta kepada siapa pun yang Allah cintai adalah baik, karena pecinta kekasih Allah adalah juga pecinta Allah. Ketujuh, ridha. Maqam terakhir menurut Al-Ghazali adalah DAN MAHABBAH 1. Ma’rifah Kata ma’rifah berasal dari kata arafa yang artinya mengenal. Istilah tersebut bersumber dari hadits Rasulullah SAW, Barang siapa yang mengenal dirinya sesungguhnya dia mengenalnya Tuhannya. Diri manusia pada hakikatnya penuh dengan segala ketergantungan dan kefanaan. Sedangkan Allah SWT memiliki kebesaran, kekuasaan, kekekalan serta memiliki seluruh sifat-sifat kesempurnaan. Tidak ada satu pun manusia yang mampu mengenal-Nya dalam arti hakiki kecuali dengan karena-Nya. Hal ini senada dengan ungkapan Dzun Nun Al-Mishry Aku kenal Tuhanku dengan karena Tuhanku jua. Yakni, manusia dapat mengenal Tuhan dengan hidayat-Nya, kuasa-Nya dan iradat-Nya. Hal ini juga sejalan dengan pendapat para sufi dalam kitab Ayqazh Al-Himam dan Al-Risalah Al-Qusyairiyyah Orang yang makrifat kepada Allah dengan Dia, maka itulah diaarif hakiki. Syekh Dzun Nun Al-Mishry ditanya Konsep Tasawuf Sunni 227 At-Turāṡ Jurnal Studi Keislaman E-ISSN 2460-1063, P-ISSN 2355-567X Volume 6, No. 2, Juli-Desember 2019 orang Dengan apa anda mengenal Tuhan anda? Beliau menjawab; aku mengenal Tuhanku dengan Tuhanku jua, tanpa Dia, tidak mungkin aku dapat mengenal ulama sufi sepakat bahwa pada hakikatnya tidak ada seorang pun yang mampu mengenal Allah kecuali dengan atau karena Allah jua. Setidaknya, ada tiga alasan mendasar dari kalangan sufi atas konsep ini, yaitu a Saat awal kehadiran manusia di muka bumi, Nabi Adam AS membawa pengetahuan tentang Allah SWT. Dan tentang segala sesuatu karena diajarkan oleh Allah sendiri kepadanya, yang sebelumnya dia tidak mengerti apa-apa “Allah ajarkan kepada Adam nama-nama semuanya” QS Al-Baqarah ayat 31 b Lahirnya seorang anak manusia dari kandungan ibunya tanpa pengetahuan apa-apa, sebagaimana difirmankan Allah SWT “Allah yang mengeluarkan kamu dari perut ibumu, dan kamu tidak mengerti apa-apa” QS An-Nahl ayat 78. Mengenai ada dan tersedianya apa yang dinamakan dengan watak, bakat, intelegensi, naluri dan lain-lainnya adalah bersifat khalqiyyat ciptaan dan bukan meruapakan buatan manusia itu sendiri. c Faktor keterbatasan manusia merupakan suatu kenyataan yang tidak bisa dipungkiri oleh siapa pun. Di sini pengetahuan yang dimiliki manusia timbul dan berkembang karena adanya kombinasi antara faktor intern unsur-unsur khalqiyyat dengan faktor ekstern alam dan hubungan manusia Fadli Rahman, Ma’rifah, Musyahadah, Mukasyafah dan Mahabbah, Malang In-Trans Publishing. Hal. 45. 228 Fitriyatul Hanifiyah Doi At-Turāṡ Jurnal Studi Keislaman E-ISSN 2460-1063, P-ISSN 2355-567X Volume 6, No. 2, Juli-Desember 2019 dengan lingkungan. Dengan demikian, pada hakikatnya ma’rifah kepada Allah hanya dapat dicapai karena Allah, yakni dengan petunjuk-Nya, hidayah-Nya dan kehendak-Nya. Abu Yazid seorang sufi mengungkapkan bahwa mereka yang telah mencapai tingkat ma’rifah adalah mereka yang dalam batin tidak menghiraukan sesuatu yang ada pada mereka dan bertahan pada apa yang ada pada Allah SWT. Di samping itu juga, Al-Qasim Al-Qusyairi mengemukakan bahwa alat untuk memperoleh ma’rifah adalah sirr. Dijelaskan oleh Qusyairi bahwa di dalam tubuh manusia terdapat tiga alat yang dipergunakan oleh para sufi untuk berhubungan dengan Tuhan; pertama, qalb, yaitu alat yang dipakai untuk mengetahui sifat-sifat Tuhan, kedua ialah ruh, yakni alat untuk mencintai Tuhan dan yang ketiga adalah sirr, yaitu alat untuk dapat melihat Mahabbah Seorang sufi sejati, setelah merealisasikan sepenuhnya pola dan teladan yang ditetapkan Nabi Muhammad SAW., secara batiniah sudah mabuk dengan Allah dan secara lahiriah tetap tidak mabuk dengan dunia. Kemabukan spiritual adalah buah keberhasilan menemukan Allah. Kaum sufi biasanya berdoa kepada Allah dalam bahasa cinta, pengalaman paling kuat dan paling intens dalam kehidupan menggunakan bahasa ini, mereka menuruti bukan hanya segenap realitas dari fitrah manusia, melainkan juga ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits. Yang sangat signifikan adalah ayat berikut ini “katakanlah wahai Muhammad, jika kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku niscaya Allah akan mencintai kalian” QS. Ali Imran; 31. Menurut pembacaan khas sufi atas ayat ini, yaitu cinta kepada Allah akan mendorong seorang menempuh jalan sufi untuk saling mencintai, Konsep Tasawuf Sunni 229 At-Turāṡ Jurnal Studi Keislaman E-ISSN 2460-1063, P-ISSN 2355-567X Volume 6, No. 2, Juli-Desember 2019 yakni bahwa sang pecinta ingin dicintai oleh Kekasihnya dan merasakan anggur cinta Kekasihnya. Tidak ada seorang pecinta bahagia tanpa perasaan cinta timbal balik. Ayat tersebut menjelaskan bahwa satu-satunya cara untuk membuktikan bahwa cinta kepada Allah adalah dengan meneladani kesederhanaan Nabi Muhammad SAW., dan ini berarti harus mengikuti perilakunya, yakni Sunnah yang dikodifikasikan dalam syariat. Dalam sebuah Hadits yang sering dikutip dalam karya-karya sufi, Nabi Muhammad SAW., menguraikan apa yang terjadi ketika orang-orang yang mencintai Allah mengabdikan diri mereka sepenuhnya kepada Kekasih mereka. Pengabdian seperti ini harus dibuktikan melalui dua macam praktik, yaitu mengerjakan amal-amal ibadah wajib dan sunnah, yang dikodifikasikan dalam syariat. Setelah para penempuh jalan sufi benar-benar mencintai Allah, mereka pun akan dicintai oleh-Nya. Cinta Allah bisa membuat mereka mabuk dan menghilangkan semua kekurangan dan keterbatasan mereka sebagai manusia. Cinta Allah dapat pula melenyapkan kegelapan temporalitas dan kemungkinan, serta menggantikannya dengan pancaran keabadian Allah. Menurut Al-Ghazali cinta kepada Allah adalah suatu hasil terakhir dari ma’rifatullah. Ajaran tasawuf dan umumnya ajaran Islam ialah membangkitkan rasa cinta yang sangat dalam kepada Allah. Jika rasa cinta telah melekat dalam diri jiwa seseorang, maka ketika ia menjalankan perintah serta menjauhi larangan-Nya akan terasa nikmat. Karena ia melakukannya dengan ikhlas, dengan kesadaran hati bukan karena kepada Allah ialah suatu sikap mental yang mendorong manusia untuk mengagungkan Allah, menuntut keridhaan-Nya, ingin selalu William C. Chittick, Tasawuf di Mata Kaum Sufi Bandung Mizan, 2002. Hal. 77. Ali Hasyim, Menuju Puncak Tasawuf Surabaya Visi 7, 2006. Hal. 190. 230 Fitriyatul Hanifiyah Doi At-Turāṡ Jurnal Studi Keislaman E-ISSN 2460-1063, P-ISSN 2355-567X Volume 6, No. 2, Juli-Desember 2019 bertemu dengan-Nya dan tidak tenang dengan sesuatu selain daripada Allah. PENUTUP Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa tasawuf akhlaqi merupakan pola tasawuf yang ajaran-ajarannya kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Dengan demikian ajaran tasawuf akhlaqi tersebut merupakan ajaran yang terdapat dalam aliran sufi sunni. Tasawuf sunni ini cenderung menyorot tasawuf dari sudut moral dan amal syariat yang didasarkan pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Termasuk tokoh-tokoh sufi sunni di antaranya adalah Haris al-Muhasibi. Ia banyak mengkaji dan mengajarkan disiplin diri muhasabah. Al-Muhasibi juga menulis Kitab Al-Wasaya yang menyajikan ulasan tentang zuhud. Di antara tokoh tasawuf yang muncul pada abad ke-5 H adalah Abu Qasim Abdul Karim Al-Qusyairi, selain itu juga Al-Ghazali. Sedangkan maqam dan hal merupakan cara untuk mencapai tujuan ideal para sufi. Melalui proses purifikasi jiwa terhadap kecenderungan materi agar kembali pada cahaya Tuhan. Pada sisi lain, ahwal merupakan keadaan yang diberikan oleh Tuhan di tengah seseorang melakukan perjalanan kerohanian melalui maqam tertentu. Ketika Tuhan memanifestasikan diri dalam jiwa dan hati bersih manusia baik dalam bentuk keagungan maupun keindahan-Nya, seseorang akan mencintai manifestasinya tersebut dan merasakan kegembiraan-kegembiraan tertentu, hati merasa dekat qurb, rasa cinta mahabbah, raja’, tentram dan rasa yakin. Kondisi-kondisi kejiwaan tersebut yang dinamakan ahwal. Konsep Tasawuf Sunni 231 At-Turāṡ Jurnal Studi Keislaman E-ISSN 2460-1063, P-ISSN 2355-567X Volume 6, No. 2, Juli-Desember 2019 DAFTAR PUSTAKA Chittick, William C., Tasawuf di Mata Kaum Sufi Bandung Mizan, 2002 Ernst, Carl W., Ajaran dan Amaliah Tasawuf, diterj. dari Judul Asli The Shambhala Guide to Sufism Jogjakarta Pustaka Sufi, 2003 Hasyim, Ali, Menuju Puncak Tasawuf Surabaya Visi 7, 2006 Kartanegara, Mulyadhi, Menyelami Lubuk Tasawuf Jakarta Erlangga, 2002 Madkour, Ibrahim, Filsafat Islam Metode dan Penerapan Jakarta CV. Rajawali, 1988 Mukhlis, Tasawuf yang Dipuja, Tasawuf yang Dikutuk Jogjakarta Genta Press, 2008 Rahman, Fadli, Ma’rifah, Musyahadah, Mukasyafah dan Mahabbah Malang In-Trans Publishing Rahman, Fazlur, Islam Jakarta Bina Aksara, 1987 Shihab, Alwi, Akar Tasawuf di Indonesia Jakarta Pustaka Iiman, 2009 Simuh, Abdul Muhayya, Amin Syukur, dkk., Tasawuf dan Krisis, Yogyakarta Pustaka Pelajar, 2001 Su’ud, Abu, Islamologi Jakarta PT Rineka Cipta, 2003 Aris PriyantoMaqamat adalah tingkatan seorang hamba dihadapan Allah dalam hal ibadah dan latihan-latihan riyaá¸ah jiwa yang dilakukannya. Maqamat juga terdapat dalam kitab Salalim Al-Fuá¸ala karya Syekh Nawawi Al-Bantani. Keberadaan maqamat sangat penting dalam perjalanan spiritual seorang salik untuk bisa sampai kepada Allah dan menjadi kekasih-Nya. Dengan latar belakang tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk 1. mengetahui konsep maqamat Syekh Nawawi al Bantani dalam kitab Salalim Al-Fuá¸ala; 2. mengetahui maqam-maqam yang terdapat dalam Kitab Salalim Al-Fuá¸ala. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif dengan menggunakan analisis deskriptif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Syekh Nawawi Al-Bantani memahami maqamat sebagai sebuah wasiat yang harus dijaga dan diamalkan oleh seorang salik. Sedangkan maqamat menurut Syekh Nawawi Al-Bantani dalam kitab Salalim Al-Fuá¸ala’ adalah tahapan-tahapan yang harus dilalui oleh seorang salik untuk sampai kepada Allah dan menjadi kekasih-Nya dengan cara menjaga dan mengamalkan sembilan wasiat. Sembilan wasiat tersebut menurutnya adalah taubat, qana’ah, zuhud, belajar ilmu syari’at, menjaga ibadah sunnah, tawakal, ikhlas, uzlah, dan menjaga waktu. Selain itu, ada tiga macam maqam yang ditawarkan Syekh Nawawi Al-Bantani dalam kitab Salalim al-Fuá¸ala yang tidak terdapat dalam macam-macam maqam para tokoh sufi lainnya. Ketiga macam tersebut antara lain; belajar ilmu syari’at, menjaga ibadah sunnah, dan menjaga waktu. Sehingga ketiga tersebut akhirnya menambah jumlah maqamat yang ada dalam disiplin ilmu tasawuf, dimana ketiga maqam tersebut tidak ditemukan dalam konsep maqamat para tokoh sufi dan Amaliah Tasawuf, diterj. dari Judul Asli The Shambhala Guide to SufismCarl W ErnstErnst, Carl W., Ajaran dan Amaliah Tasawuf, diterj. dari Judul Asli The Shambhala Guide to Sufism Jogjakarta Pustaka Sufi, 2003Abdul SimuhAmin MuhayyaDkk SyukurSimuh, Abdul Muhayya, Amin Syukur, dkk., Tasawuf dan Krisis, Yogyakarta Pustaka Pelajar, 2001
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah Setiap kali mendengar khutbah jumat, khotib selalu mengajak dan menyeru marilah kita bertaqwa kepada Allah, marilah kita tingkatkan kualitas taqwa kita kepada Allah. Apakah seruan ini sudah benar-benar kita laksanakan, kita wujudkan, kita amalkan dalam kehidupan sehari-hari ? Sudahkah kita mencapai derajat taqwa ? Untuk lebih memantapkan lagi taqwa kita kepada Allah, khotib akan menyampaikan pembahasan tentang makna taqwa, ciri-ciri orang taqwa dan keutamaan-keutamaan taqwa. Pada khutbah beberapa Jumat yang lalu khotib telah menyampaikan makna taqwa menurut Imam Qusyairi, yaitu bahwa seseorang dapat disebut telah memperoleh derajat taqwa apabila memiliki 4 empat sifat, antara lain tawadlu, qona’ah, wara dan yakin. Pada kesempatan Khutbah sekarang ini Kotib akan menyampaiakan makna Taqwa menurut Imam Ghazali, seorang ulama, wali Allah, ahli tasawuf terkenal dari Persia, 450 H / 1058 M. Semoga Allah merahmati dan memuliakannya. Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah Imam Ghazali berkata kata Taqwa didalam al-Quran memiliki 3 makna, yaitu mempunyai arti rasa takut dan ngeri haibah, mempunyai arti ketaantan dan ibadah, dan mempunyai arti membersihkan hati dari dosa-dosa. Dari pengertian taqwa menurut Imam Ghazali itu mengandung makna, antara lain Pertama Taqwa itu mempunyai arti rasa takut dan ngeri haibah Takut terhadap siksa Allah, azab Allah, murka Allah, yang begitu dasyat, begitu hebat, disebabkan karena kita ingkar, kufur, melanggar aturan Allah. Allah telah gambarkan bagaimana umat-umat terdahulu yang ingkar, kufur kepada-Nya, kemudian Allah binasakan, Allah hancurkan mereka; bagaimana kaum Add Nabi Hud As. diazab dengan angin topan yang sangat dingin lagi amat kencang, 7 hari 7 malam.QS. Al Qomar 19 dan 29 , kaum Sadum Nabi Luth diazab dengan hujan batu QS. Al Qomar 34 , kaum Tsamud Nabi Shaleh diazab dengan suara guntur yang keras menggelegar QS. Al Qomar 31 , kaum Musa diazab dengan bumi tebalik, wajah mereka menjadi monyet Raaf 103 , kaum Saba Nabi Nuh diazab dengan banjir yang dasyat QS. Al Qomar 12 , Raja Fir’aun dan pengikutnya ditenggelamkan dilautan. QS. Al Araaf 130-134 dan Qorun dibenamkan diperut bumi QS. Al Qashash 81 Taqwa juga mengandung arti takut kepada Allah’, Takut terperosok kedalam perbuatan keji dan munkar sehingga kita berhati-hati, waspada dan penuh keseriusan menjaga hati, menjaga diri, menjaga sikap, menjaga perilaku kita dari perbuatan hina, nista dan tercela. Takut berbuat dosa; takut meninggalkan sholat, takut kalau berbuat jahat, takut melakukan maksiat, takut melupakan akhirat, takut melupakan taubat, takut banyak membuka aurat, takut suka mengumbar syahwat, Inilah takut-takut yang akan menyelamatkan kita, yang akan menjaga harkat, derajat dan martabat kita, yang akan menjaga kemuliaan dan kehormatan kita. Oleh karena itu mari kita tanamkan, benamkan, hujamkan perasaan takut khauf kepada Allah dalam diri kita. Dengan perasaan takut kepada Allah diharapkan akan melahirkan sikap hati-hati, dan memperbanyak ibadah. Allah SWT berfirman dalam Quran Surat Al Baqarah ayat 281 وَٱتَّقُواْ يَوۡمً۬ا تُرۡجَعُونَ فِيهِ إِلَى ٱللَّهِۖ ثُمَّ تُوَفَّىٰ كُلُّ نَفۡسٍ۬ مَّا ڪَسَبَتۡ وَهُمۡ لَا يُظۡلَمُونَ dan peliharalah dirimu dari azab yang terjadi pada hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya dirugikan. Kedua Taqwa itu mempunyai arti ketaatan dan ibadah Taqwa itu berarti taat, patuh, tunduk, pasrah kepada Allah, yaitu melaksanakan aturan-aturan Allah dan menjauhi larangannya imtitsalul awamiri waj tinabun nawahi dengan penuh kesadaran, keikhlsan, ketundukan, kepasrahan hanya kepada Allah. Taqwa itu ibadah, mengabdi, berbakti, berserah diri, menghambakan diri, mengabdikan diri kepada Illahi Rabbi, Allah SWT, dengan ruku, sujud, tahajud dan dengan beramal soleh. Allah SWT berfirman dalam Quran Surat Al Imran ayat 102 يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِۦ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسۡلِمُونَ Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. Karena taqwa bermakna taat dan beribadah, maka bagi hamba yang taat dan beribadah Allah akan penuhi hati dan tangannya dengan kekayaan,sebagaimana Rasulullah SAW bersabda “ Tuhan kalian berkata, Wahai anak Adam, beribadahlah kepadaKu sepenuhnya, niscaya Aku penuhi hatimu dengan kekayaan dan Aku penuhi kedua tangannya dengan rezeki. Wahai anak Adam, jangan jauhi Aku, sehingga aku penuhi hatimu dengan kefakiran dan Aku penuhi kedua tanganmu dengan kesibukan “ HR. Al Hakim . Dalam Hadits lain Nabi SAW bersabda “ Tiada seorang hamba yang taat kepadaKu melainkan Aku memberinya sebelum dia minta, dan mengabulkan permohonannya sebelum dia berdoa, dan mengampuni dosanya sebelum dia mohon pengampunan istighfar’ “ HR. Ad Dailami . Itulah balasan bagi orang yang bertaqwa, taat dan rajin beribadah kepada Allah SWT. Ketiga Taqwa itu mempunyai arti membersihkan hati dari dosa-dosa Allah SWT berfirman dalam Quran Surat An Nuur 52 وَمَن يُطِعِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُ ۥ وَيَخۡشَ ٱللَّهَ وَيَتَّقۡهِ فَأُوْلَـٰٓٮِٕكَ هُمُ ٱلۡفَآٮِٕزُونَ dan barang siapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, Maka mereka adalah orang- orang yang mendapat kemenangan Takut kepada Allah disebabkan dosa, kesalahan yang telah dilakukan, aib dan noda yang dimilikinya. Kemudian menyesalinya dengan sunguh-sungguh, berjanji tidak mengulanginya. Orang taqwa adalah orang yang memelihara diri, menjaga kesucian diri, menjaga kesucian hati dari segala macam dosa, kesalahan dan dari sifat-sifat tercela; ujub, riyaa, takabbur, rakus, iri, dengki, dendam, kemudian menghiasinya dengan sifat-sifat terpuji, seperti syukur, ridho, sabar, qonaah, zuhud, tawakkal dan ikhlas. Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah Mudah-mudahan kita semua yang hadir di mesjid ini termasuk orang-orang yang bertaqwa, taqwa yang sebenar-benarnya, taqwa yang tidak hanya di bibir saja, atau hanya kata-kata belaka yang tak bermakna, tapi taqwa yang menyatukan satunya lisan dengan perbuatan, satunya ucapan dengan tindakan, satunya kata dengan praktika, satunya dakwah dengan lampah, satunya ucap dengan sikap dan satunya teori dengan manifestasi. بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ، وَتَقَبَلَّ اللهُ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ، إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ Sumber dari berbagai sumber internet
hakikat taqwa menurut sufi